![]() |
11 dan 12 |
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada saat itu juga Presiden menandatangani dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk menganulir beleid yang menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung itu.
Undang-undang pemilihan kepala daerah oleh DPRD secara hukum sudah tidak berlaku seiring dengan di keluarkannya Perpu pengganti undang-undang dimana Presiden SBY tetap mengupayalan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Paradoks memang apa yang dilakukan oleh SBY dan Partai Demokrat, disatu sisi pemerintahlah yang menggulirkan rancangan undand-undang pilkada dengan dua opsi, pemilihan secara langsung dan pemilihan oleh DRPRD.
Koalisi merah putih dengan logika yang runtun dan kekuatan mayoritas di parlemen telah menetapkan pilihannya. Pilkada dipilih oleh DPRD, seperti “menjilat ludah sendiri” SBY mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (Perpu Pilkada) pada Kamis, 2 Oktober 2014, kembali kepada Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat, persoalannya kemudian adalah apakah DPRRI akan menyetujui Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini yang katanya pemilihan langsung dengan 10 point penyempurnaan.
Jika dilihat secara seksama alur ceritanya, tidak salah jika semua kita mensinyalir ada “main mata” dalam kisah drama yang dimainkan oleh SBY dan Partai Demokrat. Kira-kira skenarionya adalah:
- Partai Demokrat telah memasang target untuk menduduki kursi pimpinan DPR, dan kalkulasinya adalah target akan dicapai jika Partai Demokrat mendukung Opsi Pilkada yang dipilih oleh DPRD yang merupakan target utama bagi Koalisi Merah Putih. Jika partai Demokrat memilih opsi pilkada langsung secara otomatis akan keluar dari barisan KMP, dan berkemungkinan akan sulit menempatkan kadernya pada posisi pimpinan DPR-RI. Hasilnya ternyata sesuai rencana Setya Novanto dari Fraksi Golkar terpilih sebagai ketua DPR bersama empat orang wakilnya, yaitu Fadli Zon dari Fraksi Gerindra, Agus Hermanto dari Fraksi Demokrat, Fahri Hamzah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Taufik Kurniawan dari Fraksi Partai Amanat Nasional.
- Tindakan walkout Fraksi Partai Demokrat, seakan-akan diluar kehendak SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat, sehingga ada kata-kata seakan-akan SBY menyesalkan tindakan ini, sekaligus kecewa karena hasilnya adalah Pilkada dilipilih oleh DPRD. Bagian ini juga tampaknya merupakan sisi lain dari sandiwara yang dimainkan oleh Partai Demokrat.
- Jika Walkoutnya Fraksi Partai Demokrat untuk menyisir posisi pimpinan DRP-RI, maka Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Pilkada Langsung adalah tindakan “ambil hati” kepada rakyat Indonesia, dan kepada koalisi Indonesia Hebat, sudah bisa di duga untuk memuluskan diterimanya Perpu Pilkada langsung ini oleh DPR-RI pada persidangan paripurna mendatang, maka SBY dan Fraksi Partai Demokrat akan berjuang habis-habisan dipastikan dengan dukungan sepenuhnya dari Koalisi Indonesia Hebat, yang sejak awal menginginkan Pilkada langsung oleh rakyat.
- Bagi Koalisi Merah Putih, targetnya adalah “sapu bersih” posisi pimpinan DPR-RI walapun sudah terbaca sejak awal revisi terhadap undang-undang MD3 diarahkan untuk kepentingan ini, tidak ada tempat bagi Koalisi Indonesia Hebat, apalagi setelah Mahkamah Konstitusi Senin (29/09) menolak uji materi Undang-undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau disebut juga MD3 yang diajukan oleh PDIP.
- Maka jika pada akhirnya Koalisi Merah Putih akan menerima perpu Nomor 1 Tahun 2014 pilkada secara langsung kembali menjadi undang-undang, semata-mata karena tujuan sempit semata bahwa target pimpinan DPR-RI sudah dapat diraih. Dengan diraihnya posisi pimpinan DPR-RI akan memudahkan konsolidasi kolaisi merah putih untuk melakukan manuver politik lainnya.
- Jika DPR-RI terus mempertontonkan politik transaksional pada masa-masa mendatang, sudah dapat dipastikan pemerintahan Jokowi-JK akan mengalami banyak kerepotan, tentu jika DPR-RI tidak rasional akan sering berhadapan dengan gerakan extra parlementer.
Saat ini sudah menjadi kenyataan DPR akan dikuasai oleh kelompok oposisi, sedangkan kepresidenan akan dikuasi oleh kelompok pemerintah yang minoritas di DPR, Agar berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi-JK berjalan dengan lancar, sepertinya Jokowi dengan dukungan koalisi Indonesia Hebat akan terus berupaya memperoleh dukungan dari kekuatan politik lain yang tergabung dalam koalisi Merah Putih. Kekuatan politik yang berpotensi tidak teguh kepada pendirian seperti yang dipertontonkan belakangan ini adalah Fraksi Partai Demokrat dibawah pimpinan SBY
Jika Partai yang “Haus dan Gila kekuasan” jabatan tentu merupakan sesuatu yang di incar dan diburu, maka jabatan menteri adalah tawaran yang mungkin akan ditawarkan jokowi untuk memecah belah Koalisi Merah Putih terutama untuk Partai Demokrat. Jabatan menter sangat menarik untuk dijadikan sarana untuk merangkul “Sahabat Baru” sepertinya tidak tabu meninggalkan kesepakatan bagi partai yang haus kekuasaan.
Koalisi Jokowi-JK yang terdiri dari PDIP, NasDem, PKB, Hanura dan PKPI memiliki 207 kursi di parlemen. Di lain pihak oposisi koalisi Merah Putih, yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP dan PBB- secara keseluruhan memiliki 297 kursi.
Adapun Partai Demokrat dengan 61 kursi yang sejak awal menyatakan bersikap netral, tentu tidak mudah melupakan “Indahnya” berkuasa selama 10 Tahun belakangan ini. Intinya…..ada potensi yang besar tidak adanya kesamaan harapan oleh rakyat indonesia dengan apa yang akan dilakukan oleh DPR-RI sebagai wakilnya, dan tentu ini sangat berbahaya bagi pembangunan nasional kita, mengatasnamakan negara demokrasi tetapi meninggalkan kehendak dan kepentingan rakyat..[iP]
Tags
Serba Serbi